Salah satu fakta yang tak bisa ditolak dari negara Republik Indonesia yang kemarin kita peringati kelahirannya yang ke-65 adalah keberagaman atau kemajemukannya. Kita terpisah-pisah oleh ribuan pulau (besar dan kecil) tapi disatukan oleh ”laut” yang sama. Kita memang berada di nusa yang berbeda tapi tetap bisa berlabuh dan berbagi di pelabuhan yang sama.
Kita terlahir dalam berbagai suku, adat istiadat, dan bahasa daerah tapi juga mempunyai lingua franca yang mempersatukan: bahasa Indonesia. Demikian juga, kita memiliki agama dan kepercayaan beragam. Namun, sejak dulu kita memiliki toleransi yang besar untuk menerima saudara-saudara yang berbeda agama.
Konstitusi kita menjamin warga negara untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinan dan agama yang dianut. Sebaliknya, tidak boleh ada pemaksaan dan kekerasan atas nama agama.
Dalam kaitan inilah kita merasa prihatin. Setelah 65 tahun merdeka, masih ada sebagian komponen bangsa yang bertindak di luar nilai-nilai yang sudah kita sepakati. Nilai-nilai yang diletakkan para pendiri bangsa (the founding fathers) saat mendirikan Indonesia dulu.
Yakni, kekerasan terhadap tempat ibadah dan para pengikut Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, pada pengujung Juli lalu. Demikian pula, pemukulan terhadap beberapa jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang hendak beribadah di Ciketing, Kabupaten Bekasi, 8 Agustus lalu, menjadi sebagian contoh bahwa masih ada yang mencoba mencederai hal-hal yang kita sepakati dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Yang kita sesalkan, dalam dua peristiwa itu, aparat negara -baik pemerintah daerah maupun kepolisian- terkesan tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal, kekerasan tersebut terjadi di depan mata mereka. Dalam bahasa Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah, negara telah melakukan pembiaran sehingga kekerasan itu terjadi.
Implikasi ketidakhadiran negara dalam peristiwa itu sangatlah besar: tidak tegaknya hukum, perasaan ketidakpastian masyakat, dan yang kita khawatirkan adalah makin meningkatnya kekerasan atas nama agama.
Sebab, dengan pembiaran tersebut, kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan itu merasa dirinya benar. Tidak peduli apa yang mereka lakukan sebetulnya merusak kebebasan beragama, melanggar hukum, dan mengganggu kerukunan beragama yang selama ini kita pelihara.
Kita perlu belajar dari kontroversi rencana pembangunan masjid di dekat Ground Zero, tempat terjadinya tragedi 11 September 2001 di New York. Sebagian keluarga korban tewas serangan menara kembar WTC tersebut (yang juga didukung sebagian besar warga New York) menentang rencana itu. Alasannya, pembangunan tersebut dianggap tidak sensitif terhadap perasaaan mereka yang kehilangan anggota keluarga karena serangan kelompok Islam radikal.
Di tengah kontroversi itulah, Wali Kota New York Michael Bloomberg yang kemudian didukung Presiden Barack Obama tampil lantang mengingatkan warga New York agar kembali ke nilai-nilai Amerika yang sangat menjunjung hukum serta kebebasan beragama.
Bloomberg menyatakan, setiap warga Amerika bisa membangun tempat ibadah asal bangunan itu di tempat yang sesuai dengan zoning-nya serta dibeli dan dibangun dengan uang yang legal.
Keduanya mengingatkan agar warga yang menentang -umumnya kelompok konservatif Kristen dan Yahudi- tidak terjebak pada pandangan sempit. Harus diingat bahwa Al Qaidah atau kelompok radikal yang melakukan serangan 9/11 itu bukanlah representasi Islam yang sebagian besar berpandangan moderat.
Kita di Indonesia membutuhkan pemimpin seperti Bloomberg dan Obama yang berani menyuarakan kebenaran, meski hal itu berarti bertentangan dengan pandangan sebagian besar ”konstituennya”. Nilai-nilai bangsa yang luhur seharusnya tidak boleh dikalahkan oleh tekanan kelompok atau kepentingan sesaat.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.