Not Just about Tolerance

<--

“Our capacity to show not merely tolerance, but respect to those who are different from us” (Barack Obama, Jumat, 13 Agustus 2010).

Keberagaman tak hanya membutuhkan toleransi. Penghormatan atas yang berbeda merupakan jalan lain mengharmonikan kemajemukan. Ungkapan Obama yang memberi dukungan terhadap pembangunan masjid di dekat Ground Zero, yang ditentang sebagian warga Amerika Serikat, merupakan respons atas yang berbeda.

Penghormatan terhadap umat Islam sebagai minoritas (berbeda) di Amerika merupakan langkah berani di tengah trauma tragedi 11 September dan di sebuah negara yang telanjur menstigma Islam sebagai ancaman. “As a citizen, and as president, I believe that muslims have the same rights to practice their religion as anyone else in this country,” Obama melanjutkan.

Pernyataan Obama yang disampaikan saat iftar (dinner) menyambut Ramadan di Gedung Putih itu merupakan tuturan ideal dalam konteks relasi mayoritas-minoritas. Mayoritas sejatinya menjadi tumpuan minoritas untuk menggantungkan segala harap. Pun, di Indonesia yang mayoritas muslim ini, suara dan komitmen untuk menghormati yang berbeda seharusnya terdengar terang di antara keberagaman umat beragama.

Menghargai yang berbeda menjadi kemestian semua agama. Secara historis, agama hadir sebagai “yang berbeda”. Misi transformatif agama merupakan respons atas realitas sosial yang diskriminatif. Karena itu, kehadirannya menawarkan kesetaraan (ekualitas) yang memberikan ayoman bagi semua kelas.

Problem laten agama dalam konteks ekualitas tersebut lebih pada hierarki kebenaran yang tak terbantahkan pada dirinya. Hierarki teologis ini berpotensi dijadikan legitimasi yang mendiskriminasi dalam segala bentuknya, termasuk hegemoni yang terlegitimasi atas nama teks-teks suci.

Problem ini bukan hanya milik agama. Demokrasi, yang misi awalnya juga menekankan ekualitas, berhadapan dengan realitas kelas dengan sistem nilai yang mengikatnya secara struktural (Leslie Lipson, 1964). Namun demokrasi selalu mampu membuka dan mengoreksi diri karena ranah legitimasinya pada rakyat yang relatif, bukan pada Tuhan yang mutlak.

Agama berhadapan dengan legitimasi teologis sehingga melahirkan banyak ragam tafsir yang kadang “berbeda” satu dengan lainnya. Eksistensi kelompok literalis dan kontekstualis harus berhadapan dalam menafsir teks suci agama yang kemudian berdampak pada aspek sikap keberagamaan. Pada titik ini, problem sosio-politik terjadi yang tak jarang berbuah konflik. Konflik merupakan aktualisasi dari perbedaan pada ranah tafsir, bukan pada esensi agama itu sendiri.

Kekerasan seakan terabsahkan atas nama (tafsir) ayat-ayat Tuhan. Kebenaran selalu dipahami sebagai realitas yang final, biner, linear, dan menafikan kebenaran yang berbeda. Konsekuensinya, tak ada tempat bagi yang lain dan berbeda. Di sinilah toleransi menjadi penting sebagai landasan awal (batas) terciptanya harmoni.

Menghormati

Namun toleransi bukanlah segalanya. Kalaupun dianggap sebagai kunci jawaban atas praktek diskriminasi, toleransi bisa menjebak pada ambigu dan ambivalensi. Bahkan secara tidak langsung toleransi berpotensi merawat dominasi mayoritas.

Harmoni dan stabilitas terjaga lebih karena minoritas tak berani berbeda. Minoritas mensubordinasi diri pada mayoritas. Pada titik ini, toleransi menjelma sebagai bentuk ketakberdayaan minoritas. Akibatnya, diskriminasi terhadap minoritas dalam segala bentuknya, termasuk dalam bentuk ungkapan yang melecehkan, tak bisa direspons secara setara oleh minoritas. Bahkan dalam hal tertentu, deviasi atas hak-hak minoritas dianggap wajar oleh kelompok mayoritas. Sikap mendiamkan, apalagi mentoleransi, terhadap hegemoni mayoritas merupakan bentuk persetujuan atas deviasi hak-hak minoritas.

Kecenderungan tersebut tumbuh subur seiring dengan menggejalanya demokrasi mayoritarian. Demokrasi dimaknai sebagai ajang kebebasan yang tentu akan lebih banyak memberikan keuntungan bagi kelompok mayoritas dan menyempitkan ruang minoritas. Minoritas menjadi realitas terancam atas nama demokrasi mayoritarian. Padahal minoritas secara esensial memiliki hak yang sama untuk hidup bersama dalam keragaman tanpa subordinasi, apalagi hegemoni.

Karena itu, untuk memperkuat relasi mayoritas-minoritas diperlukan kehendak semua pihak, khususnya kelompok mayoritas, untuk beranjak dari ranah toleransi menjadi penghormatan (keberpihakan) terhadap yang berbeda (minoritas). Dalam lingkup yang lebih luas, perlu adanya pemberian ruang lebih pada minoritas baik secara ekonomi, politik, hukum, maupun sosial-budaya untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai warga negara yang setara.

Diperlukan komitmen sosial dan politik yang kuat untuk menghormati yang berbeda (the others). Kalau tidak, minoritas akan terus tergilas oleh kesetaraan (equality) dan kebebasan (liberty) semu atas nama demokrasi. Ini membuktikan, toleransi dalam demokrasi tak cukup untuk merawat harmoni.

About this publication