We Know It’s America’s War

<--

Bukan perkara mudah menangani perbedaan pandangan. Bukan hal gampang pula menangani terorisme. Bagaimana Pakistan meng ambil sikap mengenai hal ini. Berikut ulasan wartawan Republika, Muhammad Subarkah, yang lebih sepekan silam mengunjungi Pakistan.

“Ini bukan perang kami, juga bukan perang dunia atau teroris. Itu perang terhadap Amerika dan sekutunya.” Penegasan ini dikatakan Ahmad Yusuf sewaktu sarapan pagi di sebuah restoran hotel di Abdul Road, Multan, Pakistan, Ahad (25/9).

Cuaca pagi yang sedikit dingin membuat perbincangan bersama insinyur sipil ini makin mengasyikkan. Berulangkali kami minta tambah makanan ‘Cepati’ dan minuman teh hijau yang sepat, tapi menyegarkan.

“Kami tahu posisi Pakistan itu strategis. Kami berada di tengah, di antara negara besar, seperti Cina, Iran, India, Afghanistan, dan Rusia. Sejak dahulu, wilayah kami ini selalu diperebutkan,” papar Yusuf.

Dia kemudian bercerita mengenai potensi kekayaan alam Pakistan. Bukan hanya penduduknya yang cukup besar, tapi juga potensi tambang, terutama minyak yang banyak tersimpan dalam perut bumi negara itu.

“Kami juga tahu, di Afghanistan, potensi tambang minyaknya sangat besar. Dan, ini masih utuh. Untuk itulah tentara AS dan sekutunya ke sana. Kami tahu itu,” tegasnya.

Bagi sebagian orang, mungkin wilayah Pakistan dituding penuh sarang militan bersenjata. Tak ada rasa aman, tak ada kehidupan. Seolah rakyat Pakistan masih hidup di zaman batu, yang ada hanya konflik dan konflik.

Tapi, di kota kecil Multan itu, anggapan tersebut terbantahkan. Warga kota beraktivitas biasa. Toko dan supermarket buka mulai pukul 10.00 hingga lepas tengah malam. Para pekerja memulai aktivitas dari pukul 09.00 hingga 17.00. Sebuah restoran yang cukup bagus pun berada di sana, dengan pengunjung yang selalu penuh.

Penanganan militan

Lalu, bagaimana cara Pakistan menangani militan yang pusatnya di perbatasan Afghanistan? Dari cerita pejabat Direktur Jenderal Interservices Publik Relation, Pakistan, Mayjen Athar Abbas, memang tak bisa hanya dilakukan dengan cara penggunaan kekerasan senjata. Pemberdayaan masyarakat juga harus dilakukan.

Harus diakui, katanya, deradikalisasi kelompok masyarakat yang dipengaruhi pandangan hidup militan itu tak mudah. Selain harus punya program terpadu dan serius, juga membutuhkan perhatian dan penyediaan dana yang besar. Tanpa terpenenuhinya prasyarat itu, semua usaha akan sia-sia.

“Jelas kami harus merangkul warga kami di perbatasan Afghanistan itu. Apalagi, kehidupan mereka sangat sederhana. Kami harus sediakan sekolahan, membangun permukiman, sarana pelayanan kesehatan dan akses jalan, menyediakan air bersih, dan menyiapkan berbagai sarana sosial lainnya,” kata Abbas.

Dia mengaku prihatin bila Pakistan terus menjadi korban perang pasukan AS dan sekutunya di Afghanistan itu. “Coba bayangkan, perbatasan kami dengan Afghanistan panjangnya 2.000 kilometer. Letaknya sangat sulit dicapai karena berada di pegunungan bersalju. Sulitnya lagi, garis perbatasan itu hanya berupa garis maya.”

Menurut Abbas, saat terakhir ini, para militan di perbatasan itu bukanlah lagi warga Pakistan. Mereka warga negara asing dari berbagai penjuru dunia, termasuk Eropa. Kalau Anda tanya keberadaan Usamah bin Ladin, kami juga tak tahu. Apakah dia masih hidup atau tidak, sebab tinggal di daerah itu sangat sulit.

Tak beda dengan rakyatnya, elite Pakistan cukup paham bahwa embusan kencang isu perang terhadap terorisme itu sebenarnya bukan perang terhadapnya.

About this publication