Obama Comes Home

<--

RENCANA kunjungan Tuan Obama sungguh singkat. Setelah ke India selama tiga setengah hari, Presiden Amerika Serikat itu dijadwalkan tak sampai 24 jam di Indonesia. Itu pun kalau tak ditunda lagi, seperti terjadi sebelumnya. Dari Jakarta ia akan bermuhibah ke Korea Selatan untuk menghadiri pertemuan G-20 selama tiga hari, lalu mampir sebentar menengok patung Buddha di Yokohama, Jepang, sebelum kembali ke Washington, DC.

Singkatnya rencana kunjungan ke Indonesia ini, yang sebelumnya dibatalkan dua kali, boleh saja diartikan sebagai tak pentingnya Indonesia di mata Amerika. Namun, dari sisi kepentingan nasional, hal ini sebetulnya lebih merupakan ke persoalan citra ketimbang substansi. Bahkan, tak menjadi perhatian utama negeri terkuat di dunia ini sebetulnya patut kita syukuri. Sebagai negara yang kekuatan ekonominya hanya sekitar empat persen dari Amerika, Indonesia lebih mudah bermanuver dalam hubungan bilateral dengan sang raksasa bila para pengambil keputusan di Washington, DC, tak terlalu waspada.

Manuver dalam hubungan asimetris seperti RI-AS memang membutuhkan siasat gerilya. Ibarat hikayat sang kancil, Indonesia harus menggunakan kecerdikan agar tak menjadi pelanduk yang mati terjepit di tengah perseteruan antargajah di hutan diplomasi global. Perseteruan itu memang sedang memanas antara Amerika yang baru mengalami krisis ekonomi dan Republik Rakyat Cina yang pertumbuhan ekonominya amat bergantung pada ekspor, terutama ke Amerika.

Dalam kondisi inilah Obama melawat ke Asia. Kepada rakyatnya, ia menyatakan akan memperjuangkan tata perdagangan dunia yang lebih berimbang, yaitu dengan meminta negara-negara yang dikunjunginya lebih membuka pasarnya bagi produk Amerika. Ini akan membuka peluang kerja di Negara Abang Sam, ditambah pencetakan dolar agar nilainya turun sehingga produk “made in USA” semakin bersaing harganya.

Pada pertemuan G-20 di Korea Selatan, bisa diduga Obama akan menekan para pemimpin RRC agar meningkatkan nilai mata uang yuan, dan tekanan itu akan dilawan habis-habisan. Para pemimpin Tiongkok khawatir peningkatan nilai yuan akan membuat ekspor mereka menurun dan pertumbuhan ekonomi terhambat.

Pertikaian ini berdampak luas pada perekonomian internasional. Eropa dan negara maju lainnya berpihak ke Washington, dan berkomplot menurunkan nilai mata uang mereka secara sepihak. Yang jadi korban adalah negara-negara lain yang tak punya modal cukup untuk menghalangi meningkatnya nilai mata uang masing-masing sehingga menurunkan daya saing produknya di pasar dunia. Tak mengherankan jika pengamat ekonomi menyebut pertikaian kebijakan ekonomi dunia ini sebagai mulai memaraknya perang dunia mata uang.

Menghadapi polarisasi ekonomi dunia ini, Indonesia harus trengginas. Tak ada salahnya menengok kembali kecerdikan para pemimpin bangsa di era Perang Dingin dulu. Nasihat Bung Hatta agar Indonesia mengambil jarak terhadap semua kubu ibarat “berlayar di antara dua karang” mungkin layak dipraktekkan dengan memodifikasinya menjadi “berlayar di antara banyak karang”.

Gonjang-ganjing perang mata uang, misalnya, adalah keniscayaan yang tak dapat dihindari. Yang dapat kita andalkan adalah antisipasi yang tepat, sehingga gelombang global yang datang tak membinasakan bagai tsunami, tapi dinikmati dengan berselancar di atasnya. Misalnya dengan membayar lebih cepat utang luar negeri dan membelanjakan dana untuk proyek-proyek infrastruktur ketika rupiah terdorong ke atas, serta merebut investasi industri padat karya ketika rupiah terpuruk.

Antisipasi ini hanya dapat dilakukan dengan baik bila para pengambil kebijakan nasional sungguh-sungguh mampu memantau dinamika dunia. Kemampuan ini tak mungkin diraih tanpa melibatkan diri dalam berbagai fora internasional. Tentu saja bukan keterlibatan sebagai bagian dari kubu yang bertentangan, melainkan keterlibatan sebagai warga dunia yang selalu mencoba memfasilitasi tumbuhnya kesepakatan-kesepakatan baru untuk menciptakan masa depan yang lebih menjanjikan.

Posisi ini memang cocok bagi negara yang berukuran sedang seperti Indonesia. Cukup besar untuk menjadi pemimpin yang disegani pada tingkat organisasi regional seperti ASEAN, tapi tak cukup besar untuk dianggap sebagai ancaman bagi penguasa dunia. Apalagi, mulai tahun depan Indonesia menjadi ketua ASEAN dan akan menjadi tuan rumah pertemuan puncak organisasi ini dengan para pemimpin dunia lainnya. Setelah itu, pada 2012, Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan para pemimpin Asia Pasifik di forum APEC.

Jadi, tak perlu kecewa akan singkatnya kunjungan Obama, bahkan kalaupun ia tak jadi datang. Obama telah terjadwal akan berkunjung ke Indonesia setiap tahun, sampai masa jabatannya berakhir, pada 2013.

About this publication