To Hell with Your Films

<--

Tidak ada yang menyangkal kita perlu film asing, khususnya film-film Hollywood, Amerika Serikat (AS). Baik sebagai hiburan maupun sebagai sumber inspirasi kehidupan, dan referensi kreatif untuk sineas serta insan film kita.

Namun, saya tidak yakin kalau di antara kita ada yang mau mempertukarkan kegandrungan pada film Hollywood tersebut dengan hilangnya kedaulatan kita sebagai bangsa. Apapun alasannya.

Sepakat atau tidak sepakat (deal or no deal) hal biasa dalam bisnis. Yang luar biasa, ketika mitra bisnis menolak untuk mengikuti aturan yang berlaku di negeri mitranya, kemudian memprovokasi rakyat dengan informasi menyesatkan. Termasuk kesan mendorong publik “melawan” ketentuan perpajakan sesuai undang-undang (UU). Padahal, UU tersebut merupakan amanah seluruh rakyat.

Faktanya seperti itulah yang dilakukan para produsen/eksportir film AS yang tergabung dalam organisasi Motion Picture Association of America (MPAA) di Indonesia. Mereka menolak membayar pajak yang menjadi kewajiban mereka.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak melalui surat edaran tanggal 10 Januari 2011 mengingatkan kewajiban pajak atas distribusi/royalti film yang sudah berlaku belasan tahun lalu. Pajak itu terdiri dari bea masuk (10%), Pajak Pertambahan Nilai/PPN (10%) dan Pajak Penghasilan/PPh (2,5%) atau total 23,75%.

Edaran, yang intinya mengingatkan pada kewajiban tersebut, langsung ditanggapi secara reaksioner oleh MPAA dengan menyetop pasokan film mereka di negeri ini.

Bukan boikot itu betul yang bikin kita harus mengurut dada. Mitra internal mereka di sini, yaitu pengusaha bioskop 21, ikatan perusahaan importir film di Indonesia (Ikafifi), bukannya menasehati mitranya tunaikan kewajiban, malah mendramatisasi boikot MPAA itu seolah telah terjadi kiamat. Padahal, mereka tahu prosedur keberatan soal pajak harus disampaikan ke instansi yang terkait bukan kepada pers.

“Kami sudah minta mereka sampaikan surat keberatan. Namun, sampai hati ini kita belum menerima surat itu,” kata Heri Kristiono, Direktur Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai kepada wartawan hari Senin (21/2). Tidak jelas apa cita-cita di belakang pilihan pihak MPAA mempolitisasi keberatan itu melalui pers.

Dalam informasinya kepada pers, terasa sekali dikesankan pemerintah hendak “memalak”, dan mengindentikkan langkah pemerintah sebagai perampasan hak rakyat untuk mendapatkan hiburan segar. Cara-cara inilah yang menimbulkan keberatan sebagian insan film Indonesia. Cara itu dianggap keterlaluan karena mengadu domba rakyat dengan pemerintah.

Padahal, kalau kita menelaah secara cermat duduk perkara pajak impor film ini, maka fakta sebenarnya berbanding terbalik dengan apa yang MPAA informasikan kepada publik.

Pertama, pajak atas distribusi/royalti film bukan produk baru Dirjen Pajak. Itu adalah ketentuan lama yang belasan tahun diabaikan. Artinya, justru film-film impor lah yang menungggak sekian lama kewajibannya atas pajak distribusi.

Kedua, kewajiban pajak yang mereka tunaikan selama ini, hanya bea masuk, PPN, dan PPH, total 23,75% atas copy film semata.

Film “Avatar” yang selama pertunjukannya di Indonesia berhasil meraup Rp55 miliar bisa jadi contoh soal itu. Berdasarkan ketentuan pajak royalti, mestinya MPAA membayar 23,75% dari share produsen (45% x Rp55 miliar). Itulah yang tidak ditunaikan. Yang mereka bayar hanya 23,75% dari harga copy film, yang jumlahnya sekitar Rp3 juta per copy. Artinya, kalau Avatar beredar dengan 100 copy, maka total mereka menyetor ke negara hanya Rp300 juta.

Data 2010

Tahun 2010 ada 65 judul film Hollywood milik MPAA yang beredar di Indonesia. Total pemasukan dari penonton Rp765 milyar. Yang mereka baru bayar dari pajak seluruh copy film tahun 2010 hanya sekitar Rp5 miliar. Sedangkan, pajak atas royalti film itu belum dibayar sama sekali. Bayangkan, berapa jumlah uang pajak yang tertunggak jika itu sudah berlangsung 15 tahun dengan penghasilan royalti setahun rata- rata di atas Rp700 miliar rupiah.

Isu mengenai kekhawatiran bioskop bakal tutup jika diboikot MPAA lebih menyesatkan lagi. Tiap tahun film AS yang dipertunjukan di sini jumlahnya 160 judul, hanya sekitar 70 judul milik MPAA. Sisanya, film AS produksi non-MPAA. Belum lagi film asing lainnya, India, Mandarin, dan Eropa. Jangan lupa pula produksi nasional yang rata-rata 70 judul setahun, yang dalam kenyataan sering amat sulit memperoleh jadwal putar.

Jadi, masih ada sejumlah besar film AS yang akan mengisi bioskop. Importir film AS non-MPAA di Indonesia pun menyatakan siap menambah jumlah pasokannya. Ini tentu tidak asal janji. Sebab, faktanya, setiap tahun di AS diproduksi 500 hingga 600 judul. Jumlah terbesar hasil produksi non-MPAA hanya sekitar 20%.

Selain itu, argumentasi bahwa semua film produksi MPAA adalah film bermutu yang menghasilkan uang, tidak sepenuhnya benar. Dari data tahun 2010, film bagus dengan penghasilan bagus milik MPAA hanya sekitar 15 judul. Cukup berimbang dengan film produk non-MPAA.

Lantas, kenapa ketentuan pajak atas royalti film sekian lama “tertangguhkan”, dan siapa yang menangguhkan?

Ini pertanyaan yang cukup menggoda.

Dugaan kuat, hal ini terkait dengan UU Perpajakan 1983 yang di awal masa berlakunya belum secara secara spesifik mengatur soal pajak royalti tersebut.

Selain faktor itu, jangan dilupakan “jasa” Soedwikatmono yang pada pertengahan tahun 80 terjun menjadi importir film dan membangun jaringan bioskop modern 21 Group. Sebagai kompensasi atas investasinya di bidang itu, maka waktu itu kemungkinan besar pemerintah memang memberi fasilitas penangguhan pajak untuk sementara waktu.

Langkah penting pengusaha perfilman Sudwikatmono (Pak Dwi, kini almarhum) di masa itu ialah mengonsolidasi para importir film. Untuk menghadapi produsen/ eksportir film MPAA yang gemar mempermainkan harga/mengadu domba importir kita, pada awal Pak Dwi menyatukan importir dalam suatu asosiasi untuk berhadapan dengan pihak MPAA.

Lima tahun pertama gagasan itu berhasil. Dunia perfilman marak kembali. Gairah memproduksi dan mengimpor film meningkat. Penonton kembali mendatangi bioskop untuk menonton film. Tetapi, pihak MPAA tidak puas dengan keadaan itu. Mereka lalu mengreasi berbagai gara-gara.

Salah satunya, saat pemerintah hendak menggenjot produksi film nasional dengan mengurangi kuota film impor, pihak AS langsung menghadang dengan senjata pamungkas bernama Super Act 301. Mereka melarang ekspor tekstil kayu lapis masuk negara mereka. Kita pun menyerah. Itu terjadi pada tahun 1992.

Setelah itu, melalui agen-nya di Indonesia, pihak MPAA mempraktikkan politik adu domba di kalangan insan film. Asosiasi dan jaringan 21 mereka tuding melakukan monopoli. Heboh isu monopoli di tanah air itulah kelak yang ditumpangi MPAA untuk memboikot asosiasi, lalu menjual langsung filmnya di Indonesia. Kepada para asosiasi dan jaringan 21 Group. MPAA hanya memberikan kompensasi fee senilai 15% untuk pengaturan pertunjukan film MPAA di Indonesia. Inilah masa importir kembali menjadi buruh di bekas lahannya sendiri. Pihak asosiasi dan 21 Group mereka angkat sebagai mitra/perwakilan mereka di sini. Itu lah yang berlaku hingga sekarang.

Ironis memang. Mereka mendepak Pak Dwi dengan alasan monopoli. Namun, dalam praktik selanjutnya, seluruh fasilitas Pak Dwi yang dulu diidentifikasi sebagai monopoli, justru mereka manfaatkan dan nikmati hingga sekarang. Termasuk “penangguhan” pajak untuk royalti film-film mereka.

Dan, kini setelah pemerintah melakukan intensifikasi pajak dengan kembali memungut kewajiban pajak royalti film impor tersebut, MPAA langsung memboikot.

Rasanya sulit kita mengerti bagaimana bisa negara AS yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi, yang dulu mengajari pentingnya intensifikasi pajak untuk membiayai peningkatan demokrasi suatu bangsa, eh malah terang-terangan menolak bayar pajak.

Dan, itu amat mencengangkan, karena terjadi di saat kita tengah mengobarkan semangat intensifikasi pajak, dengan konsekwensi harus menindak, tanpa pandang bulu siapapun yang menyeleweng, mengemplang dan menghindar pajak, eh si kampiun demokrasi itu terang-terangan menolak. Inikah yang orang sering sebut demokrasi ala Amerika, adalah demokrasi yang ujung-ujungnya duit.

Saya sendiri tak meyakini MPAA akan memboikot dalam jangka panjang. Sebanyak 237 juta penduduk Indonesia adalah pasar yang memberi keuntungan besar bagi bisnis film AS. Lihat data penghasilan mereka tahun 2010. Pajak royalti yang wajib mereka bayar masih sangat kecil dibandingkan penghasilannya yang sangat berlimpah.

Sudah saatnya dan pantas untuk kita mengatakan go to hell with your films kalau kesukaan kepada film-film Amerika harus dipertukarkan dengan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat.

About this publication