A Lesson from America's Debt Crisis

<--

Parlemen Amerika Serikat melalui pemungutan suara yang berakhir 269-161 akhirnya menyepakati paket batas utang baru untuk menghindari kebangkrutan pemerintah federal. Dan, menjelang batas terakhir 2 Agustus untuk menghindarkan negeri itu dari situasi gagal bayar, Senat menyetujui paket tersebut menjadi sebuah undang-undang. Undang-undang ini nantinya akan menambah plafon utang pemerintah AS sebanyak 2,4 triliun dolar atau sekitar Rp 20.200 triliun. Sebelumnya batas tertinggi utang AS dipatok pada angka 14,3 triliun dolar AS (Rp 120.900 triliun).

Perdebatan antara dua kubu politik di Washington, yakni Partai Demokrat dan Republik selama beberapa pekan ini telah menyedot perhatian dunia. Bagaimanapun harus diakui, segala sesuatu yang terjadi pada Amerika akan berdampak global. Kita masih ingat ketika krisis kredit perumahan melanda Amerika dan sontak merembet menjadi krisis keuangan global. Sekarang pun, dunia dihadapkan pada ”pertunjukan” yang tidak menarik. Apabila AS sampai mengalami kebangkrutan, dampaknya bukan lagi krisis global, melainkan kekacauan ekonomi global secara masif.

Di Amerika sendiri, krisis keuangan itu telah menyentuh sendi-sendi politik. Pada tataran praktis, apabila AS mengalami default atau gagal bayar utang, negeri itu bahkan tidak akan mampu membiayai pelaksanaan pemilihan presiden pada 2014. Bisa dibayangkan, dampak dari sisi politik tersebut bakal berupa spiral kegagalan politik yang bisa berujung pada sebuah jalan buntu. Sebagai pemain utama dalam percaturan politik global, dampak politik dari kegagalan menangani krisis ini sesungguhnya sama dahsyatnya dengan dampak pada sektor ekonomi.

Pelajaran penting apa yang dapat dipetik dari pengalaman Amerika? Bagi kita, sekali lagi semua itu menegaskan, globalisasi adalah madu sekaligus racun bagi penghuni bumi ini. Dengan globalisasi, dunia menjadi semakin kecil dan terintegrasi sehingga memungkinkan kita memperbaiki kualitas hidup. Namun globalisasi menuntut kekuatan fundamendal domestik agar entitas negara-bangsa tidak mudah terseret dalam pusaran kapital global. Ketika krisis keuangan AS pada 2008 melanda, kekuatan pasar domestik terbukti tangguh membentengi diri dari hantaman krisis.

Kematangan demokrasi di Washington juga menjadi catatan khusus. Melalui delapan bulan perdebatan dan negosiasi yang melelahkan, DPR AS berhasil meloloskan paket kenaikan pagu utang. Kendati parlemen dikuasai kubu Republik, politik bipartisan diterapkan secara elegan menjelang tenggat waktu 2 Agustus malam agar negeri itu terhindar dari kehabisan dana tunai untuk menjalankan operasional pemerintahannya. Padahal, bisa saja krisis ini ”dikemas” menjadi bola politik yang panas untuk meraih tujuan partai sepihak.

Kompromi bersejarah antara Demokrat dan Republik dalam persoalan ini tidak terlepas dari kuatnya kepemimpinan Presiden Barack Obama. Politik bipartisan, kematangan demokrasi, dan kepemimpinan yang kuat, telah menghasilkan momentum untuk penyelesaian krisis yang sebelumnya tampak sulit mencari titik temu. Krisis keuangan AS ini mengingatkan kita pada krisis 1998 karena faktor kemiripannya, yakni sama-sama krisis APBN. Belajar dari Washington, Indonesia sebetulnya harus optimistis mengatasi berbagai krisis dengan memadukan ketiga faktor itu.

About this publication