Double Standards Flutter Again in the United Nations

<--

Jakarta (ANTARA News) – Standard ganda! Itulah dua kata yang sudah terlalu akrab bagi telinga orang yang mengikuti perkembangan konflik Timur Tengah dan sikap Amerika Serikat jika sudah menyangkut masalah Israel dan Arab, terutama masalah Palestina.

Perjuangan bagi negara Palestina pada Jumat (23/9) memasuki tahap baru, yang kritis, menarik perhatian bahkan memicu rasa gregetan. Bagi pendukung Israel, sikap Presiden Palestina Mahmoud Abbas menimbulkan rasa kesal, kok, wilayah yang sudah dikuasai lawan dalam perang 1967 sekarang diminta lagi.

Sementara itu, mereka yang berpihak pada Palestina tak pernah kehabisan rasa heran, kok, Israel mau merundingkan perdamaian tapi tak mau membuat konsesi –menyerahkan wilayah orang yang dikangkangi.

Tel Aviv malah terus membangun permukiman buat orang Yahudi di tanah orang Palestina. Israel tak pernah mau membicarakan, apalagi menyerahkan, Jerusalem Timur, kota “tiga agama langit” –Yahudi, Nasrani dan Islam.

Tapi yang berlangsung di PBB sekarang justru menggelitik keheranan lain. Presiden AS Barack Obama sudah mengeluarkan ancaman akan memveto upaya Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Dewan Keamanan untuk memperoleh pengakuan bagi negara Palestina.

Padahal, orang nomor satu di Negara Paman Sam tersebut `kan mengerti yang jadi masalah bukan keamanan Israel, tapi kedaulatan Palestina.

Selain itu Presiden Palestina memilih “senjata pamungkas” mendekati Sidang Majelis Umum –Mahmoud Abbas dijadwalkan berpidato dan menyampaikan keinginannya di Sidang Majelis Umum PBB, Jumat (23 September 2011)– karena pembicaraan perdamaian langsung dengan Israel macet total selama sekitar satu tahun.

Tapi pemimpin Amerika berpendapat “pembicaraan perdamaian adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel dan mewujudkan berdirinya negara Palestina”.

Banyak diplomat Barat dilaporkan telah menimpakan kesalahan bagi kemacetan dalam pembicaraan perdamaian Palestina-Israel, pada disetujuinya pembangunan permukiman di Jerusalem Timur dan Tepi Barat Sungai Jordan.

Washington sendiri dan Eropa telah mengutuk tindakan pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tersebut. Tapi saat Abbas menyampaikan rencana untuk meminta Sidang Majelis Umum PBB mengakui Negara Palestina, Amerika Serikat mengancam akan menggunakan hak veto di Dewan Keamanan, sementara Eropa tak memperlihatkan dukungan bagi upaya Abbas.

Lembaga PBB yang mensahkan keinginan Palestina adalah Dewan Keamanan –tempat Amerikat Serikat termasuk salah satu dari lima pemegang hak veto, selain Inggris, Rusia, Prancis dan China.

Washington tercatat telah memveto lebih dari 40 resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengeritik kebijakannya, sebagian justru dirancang oleh sekutunya di Eropa.

Jika orang mengamati kondisi Timur Tengah saat ini, jelas bahwa penghalangan semacam itu tak menguntungkan satu pihak pun –veto tersebut tak menguntungkan bagi perdamaian dan keamanan di wilayah yang tak pernah berhenti bergolak itu.

Selama ini mekanisme dan idealisme PBB dalam bidang politik telah sering ternoda dalam masalah Palestina. Upaya untuk menetralkan campur-tangan PBB telah dipelopori terutama oleh Amerika Serikat.

Lalu pekan ini, upaya oleh pemerintah Obama, yang bekerja atas nama Israel, telah mengangkat pembelaan ke tingkat yang baru secara keseluruhan.

Persaingan peninggalan era Perang Dingin juga telah memberi sumbangan pada kelumpuhan PBB dalam konflik Israel-Palestina-Arab. Situasi semacam itu tampaknya bisa menjelaskan mengapa lebih dari 690 resolusi yang disahkan oleh Sidang Majelis Umum dari 1947 sampai 1990 tak pernah digubris.

Semua konflik utama pasca-Perang Dingin telah menyaksikan keterlibatan langsung PBB, termasuk di Bosnia, Kosovo, Somalia, Kuwait, Irak, Afghanistan, Iran, Suriah dan belakangan Lebanon, serta Sudan Selatan.

Tapi keterlibatan itu bagai angin lalu jiga sudah masuk ranah konflik Israel-Palestina.

Proses perdamaian Palestina-Israel ditata oleh AS, tapi hubungan erat Washington dengan Tel Aviv membuat Amerika Serikat memiliki apa saja kecuali penengah yang tak memihak.

Akibatnya ialah bukan hanya konflik Paelstina-Israel direnggutkan dari badan dunia tersebut, tapi resolusi PBB yang mengecam Israel diabaikan oleh AS, sebagai penaja proses perdamaian.

Konflik Israel-Palestina bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana; seluruh bangsa Israel –atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel– memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya.

Di kedua bangsa itu, yang memiliki nenek moyang yang sama, terdapat orang dan kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas lain. Sebagian menganjurkan penyelesaian dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekuler yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat Sungai Jordan, dan Jerusalem Timur.

Setelah proses perdamaian gagal membuahkan hasil satu dasawarsa setelah penandatangan Kesepakatan Oslo 13 September 1993, baru lah presiden saat itu AS George Bush, sebagaimana dilaporkan kantor berita trans-nasional, mengizinkan PBB bergabung. Tapi itu pun hanya sebagai mitra kecil di Kuartet Internasional, yang baru dibentuk –yang meliputi Uni Eropa dan Rusia, semuanya anggota PBB.

Sementara itu Israel tak pernah mempedulikan puluhan resolusi PBB, yang “mencela”, “menyeru”, “mendesak”, “menyarankan”, atau “mengutuk” serangan, pembangunan permukiman, pengusiran dan pendudukannya serta setumpuk tindakan lain.

Terlebih lagi, semua permohonan dan tuntutan bagi campur-tangan politik dan kemanusiaan tak pernah digubris.

Satu-satunya kesempatan PBB diperkenankan bertindak ialah pada 1997, ketika badan dunia tersebut mengirim beberapa pengamat internasional tanpa senjata ke kota Al-Khalil (Hebron), yang diduduki Israel. Tapi mereka tak diberi mandat untuk berbicara secara terbuka mengenai pelanggaran yang berlangsung.

Selama empat Dasarwarsa Israel telah melanggar setumpuk resolusi Dewan Keamanan. Di antara ialah Resolusi 465 1980, yang dengan keras mencela semua tindakan yang dilakukan oleh Israel untuk mengubah ciri fisik, susunan demografik, tatanan status lembaga Palestina dan wilayah lain Arab yang didudukinya sejak Perang Enam Hari 1967, termasuk Jerusalem.

Israel juga menolak Resolusi 476, yang menegaskan kembali perlunya untuk mengakhiri pendudukan Israel atas wilayah Arab yang berlangsung sejak perang 1967.

Dewan Keamanan serta “masyarakat internasional” tak pernah mengancam akan menggunakan kekuatan militer, apalagi melancarkan serangan, terhadap negara Yahudi. Coba bandingkan dengan Libya; cukup satu resolusi PBB saja diperlukan untuk mengganyang negara Afrika Utara tersebut.

Sementara itu, satu-satunya Resolusi Dewan Keamanan PBB yang diterima baik oleh AS dan Israel sebagai landasan proses diplomatik, Resolusi 242 1967, juga secara sistematis dilanggar.

Israel telah memperpanjang pembangunan permukiman sedangkan resolusi tersebut menyatakan “tak dapat diterimanya pemilikan wilayah dengan menggunakan kekerasan”.

Ironisnya, Israel didirikan oleh rekomendasi PBB bagi Penyekatan Palestina pada 1947, dan negara Yahudi itu justru diterima sebagai anggota baru PBB dengan dasar “komitmennya untuk menghormati resolusi PBB, dan secara khusus Resolusi 194, mengenai kepulangan pengungsi Palestina”.

Sekarang setelah semua cara lain telah dicoba dan gagal, termasuk 18 tahun perundingan bilateral, Dewan Keamanan PBB harus mengemban tanggung jawabnya dengan “menuntut Israel melaksanakan kewajibannya berdasarkan Piagam PBB dan dengan mengakui hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri di satu negara mereka sendiri”.

Kegagalan untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel dan 40-tahun pendudukan Israel atas wilayah Palestina, dalam kata-kata mantan sekretaris jenderal PBB Kofi Anna, akan terus melukai reputasi PBB dan mencuatkan tanda-tanya mengenai ketidak-berpihakannya.

Dua sisi

Sekalipun sudah usang, tujuan Pemerintah Otonomi Nasional Palestina (PNA) untuk membangun lembaga penting negara Palestina merdeka di Tepi Barat dan Sungai Jordan tetap saja sulit diraih. Selama hampir 60 tahun rakyat Palestina menanggung beban pendudukan, kalau tak bisa disebut penjajahan, Israel, tapi secara bersamaan menghimpun dukungan internasional saat mayoritas negara besar “mengakui hak sah mereka”.

Belakangan, negara Eropa –yang “malu-malu kucing”– menyediakan bantuan bagi PNA, dengan harapan bisa membujuk sekutu mereka, Amerika Serikat dan Israel, agar mengakui apa yang tak bisa dielakkan.

Bahkan, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia, “suri tauladan” karena pengetahuan ekonomi keduanya, dengan susah-payah mengumumkan PNA “siap memikul tanggung jawab negara”.

Walaupun berhadapan dengan dukungan internasional, Israel mengambil sikap menentang negara Palestina. Tel Aviv tak pernah berhenti menyebar desas-desus “keamanannya terancam”.

Anehnya, adil kah untuk mempertanyakan mengapa pemerintah-demi-pemerintah Israel gagal mewujudkan keamanan sejati, sedangkan negara Yahudi tersebut tak terbantahkan memiliki kemampuan nuklir untuk melindungi negeri itu dari setiap penghancuran?

Mengapa orang mesti percaya Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman ketika ia tanpa malu mengumumkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas memilih “kekerasan dan pertumpahan darah” setelah Dewan Keamanan memberi suara yang mendukung kemerdekaan. Terlebih lagi, kapan pejabat Amerika –yang tahu bahwa Lieberman bukan orang yang stabil– mau menolak omong kosong semacam itu?

Sebenarnya Lieberman dan Perdana Menterinya sangat menyadari Abbas adalah mitra berunding yang idel sebab Presiden Palestina tersebut ingin menghidupkan hubungan Palestina-Israel, yang macet total. Abbas diberitakan ingin terlibat dalam pembahasan yang efektif dan, akhirnya, mewujudkan penyelesaian yang langgeng.

Bagi Palestina, pemungutan suara di PBB mengenai negara Palestina bukan sekedar lambang tanpa makna. Itu adalah alat untuk memulai kembali pembicaraan perdamaian yang macet.

Proses di PBB menunjukkan sejalan dengan perubahan dramatis di wilayah lain di Dunia Arab, para pemimpin PNA bahkan lebih terikat komitmen untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut.

Jika mayoritas anggota PBB di Sidang Majelis Umum mensahkan masuknya Palestina ke badan dunia tersebut sebagai anggota, tapi Washington memvetonya di Dewan Keamanan PBB, apakah tindakan AS berarti “menjamin keamanan Israel” dan menghindari pertumpahan darah lebih banyak lagi?

Selain itu, dalam kondisi lain, meskipun banyak orang menyadari AS selalu mendukung Israel, tebusan dari vetonya bisa lebih jauh lagi; rasa anti-Amerika bisa menyebar luas, bukan hanya di kalangan masyarakat Arab dan Muslim, tapi juga di kalangan elit yang kecewa yang ingin menjauhkan diri dari kekuatan praduga.

About this publication