We Don't Want to Be Like Iraq, Libya and Afghanistan

<--

Dua pejabat tinggi Barat ini mendadak mengunjungi Tripoli-Libya. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton tiba di Tripoli Selasa (18/10). Sehari sebelumnya, Senin, Menteri Luar Negeri Inggris William Hague juga berkunjung ke Tripoli.

Clinton menegaskan, prioritas di Libya saat ini adalah menciptakan keamanan dan stabilitas hingga negara pasca-era Khadafy tidak terjerumus ke dalam perang saudara lagi.

Dalam konteks itu, Hillary menekankan pentingnya menyatukan milisi-milisi bersenjata di bawah komando nasional. Menlu AS itu berjanji menggelontorkan bantuan dana 40 juta dollar AS untuk mendukung program keamanan di Libya itu.

William Hague merogok kantongnya pula dengan berjanji memberi bantuan sebanyak 42 juta pound sterling untuk pembangunan ekonomi dan stabilitas di Libya.

Isu keamanan di Libya dan Afrika Utara kini menjadi isu prioritas bagi Barat dan AS, khususnya. Barat tampaknya memandang, tanpa terciptanya keamanan dan stabilitas terlebih dahulu di Libya, mustahil negara Afrika utara itu akan sukses melakukan proses peralihan dari era diktator ke era demokrasi.

Barat menyadari pula, jika dibiarkan tanpa stabilitas dan tiadanya kontrol pemerintah pusat yang memadai, Libya akan menjadi sasaran empuk Tanzim Al Qaeda Maghrib Arab (AQIM). Apalagi, mantan penguasa Libya, Moammar Khadafy, terakhir ini sering mengancam akan bekerja sama dengan AQIM untuk menyerang berbagai kepentingan Barat di Libya dan Afrika Utara.

AS rupanya banyak belajar dari pengalaman di Afganistan dan Irak yang hingga saat ini kedua negara tersebut tidak menikmati keamanan dan stabilitas.

Di Afganistan dan Irak, AS seenaknya begitu saja membentuk pemerintahan, tanpa melihat lagi sejauh mana pemerintah tersebut memiliki basis massa luas di akar rumput. Hasilnya, lahir pemerintahan lemah, bahkan ibarat pemerintah boneka di Baghdad dan Kabul yang sangat bergantung pada AS.

Barat kini merasa punya tanggung jawab besar agar skenario Irak dan Afganistan tidak terulang di Libya. Barat tentu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di Libya lantaran campur tangannya yang kuat lewat NATO dalam menumbangkan rezim Khadafy.

Sedangkan perkembangan terakhir di Libya tidak selalu mengarah ke jalan positif. Pertarungan antara kubu Islamis dan nasionalis untuk memperebutkan kue kekuasaan, cukup mewarnai dan sekaligus mencemaskan Libya pasca era Khadafy.

Lemahnya Dewan Nasional Transisi (NTC) hingga sering keputusan-keputusannya tidak dipatuhi juga membuat khawatir situasi di Libya saat ini. Program NTC untuk melucuti senjata yang tersebar di tangan penduduk di kota Tripoli tidak jalan pula.

Ketua NTC Mustafa Abdul Jalil kesulitan pula membujuk faksi-faksi bersenjata di Tripoli bersedia berada di bawah satu komando komandan Abdul Hakim Belhaj. Abdul Hakim Belhaj adalah komandan pasukan NTC yang membebaskan kota Tripoli dari loyalis Khadafy pada 23 Agustus.

Bahkan, Ketua Dewan Eksekutif NTC Mahmud Jibril dalam wawancara dengan harian Asharq al Awsat pada awal Oktober lalu mengungkapkan telah mengajukan pengunduran diri kepada Ketua NTC Mustafa Abdul Jalil, dan pelaksanaannya menunggu pembebasan kota Sirte.

Jibril menegaskan, pengunduran dirinya berjalan mulai setelah pembebasan seluruh wilayah Libya dari loyalis Khadafy. Seperti diketahui, kota Sirte adalah kota terakhir yang kini masih terdapat loyalis Khadafy.

Jibril mengakui, penguasa hakiki di Libya saat ini bukan NTC, tetapi milisi-milisi bersenjata di lapangan yang sering mendikte keputusan mereka pada NTC.

Menurut Jibril, banyak keputusan NTC hanya di atas kertas karena sering diabaikan milisi-milisi bersenjata itu.

Kondisi politik dan keamanan internal Libya pasca-Khadafy yang masih rawan itu membuat Hillary Clinton dan William Hague harus menggolontorkan bantuan dana cukup besar untuk membangun stabilitas yang kokoh di Libya saat ini agar tidak terulang skenario di Afganistan dan Irak.  (Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir)

About this publication