A Strategy for Dealing with the Islamic State

<--

Strategi Menghadapi NI

KEEFEKTIPAN perang global — terutama peran Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya – menghadapi kelompok militan yang menamakan diri Negara Islam (NI) kembali dipertanyakan. Dalam beberapa pekan terakhir NI terus memperluas kekuasaannya meski AS dan sekutu-sekutunya melancarkan serangan udara rutin terhadap kelompok teror itu. Masih mampunya NI memperluas daerah kekuasaannya itu menjadi bukti jelas bahwa serangan udara tersebut maupun strategi militer AS lainnya telah gagal dalam perang menghadapi NI.

Pesawat-pesawat tempur AS dan sekutunya seperti Inggris, Australia, dan sejumlah negara Eropa Barat dan Arab lainnya hampir setiap hari membombardir posisi-posisi militan NI di Irak dan Suriah. Dengan teknologi mutakhir yang dimiliki pesawat-pesawat tempur AS tersebut, ditambah lagi dengan bantuan pengindaraan dari satelit, praktis semua objek NI telah menjadi sasaran. Selain menggempur NI dari udara tanpa henti, AS dan sekutunya juga memberikan bantuan militer kepada Irak dan pejuang Suriah, baik dengan pemberian persenjataan, pelatihan militer hingga suplai data intelijen. Mempertimbangkan kedahsyatan serangan udara AS dan sekutunya ini, plus bantuan militer, semestinya NI telah telah bertekuk lutut, atau paling tidak mengalami kemunduran.

Tapi kenyataannya dilapangan tidak demikian. NI terus memperluas kekuasaanya seakan tanpa terbendung . Sejumlah kota di Irak dan Suriah, termasuk beberapa kota strategis seperti Ramadi, Hasakah, jatuh ke tangan NI, dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah kota lainnya, termasuk Aleppo sebagai kota satu-satunya yang menjadi basis pemberontak Suriah yang didukung Barat, juga terancam direbut NI. Apa yang terjadi ini jelas merupakan bukti strategi global — terutama strategi AS dan sekutunya sebagai pelaku utama — dalam perang menghadapi NI telah gagal. Ada yang salah dalam strategi ini dan ini menuntut dunia untuk menyusun ulang strategi.

Kegagalan perang ini jelas disebabkan oleh keengganan negara-negara Barat untuk mengerahkan pasukan darat dalam menghadapi petempur NI. Negara-negara Barat hanya bersedia melawan NI melalui udara. Dalam perhitungan mereka, gempuran-gempuran dari udara akan membuat infrastruktur militer NI hancur, atau paling tidak melemah. Maklum bom-bom yang dijatuhkan pesawat-pesawat tempur Barat ini sangat luar biasa: memiliki daya hancur maksimal yang bisa meluluhlantakkan bangunan, tank-tank dan apa pun yang menjadi sasaran.

Tapi NI tampaknya kini telah berhasil menerapkan taktik untuk mengurangi keefektipan serangan udara. Pejuang NI disebut-sebut berbaur dengan masyarakat sipil sehingga sulit bagi pesawat tempur AS untuk menjadikan mereka sebagai sasaran. Menyerang sasaran sipil, apalagi bila jatuh korban sipil yang besar adalah ‘kemenangan’ NI. Kelompok militan itu akan menjadikan korban sipil ini sebagai propaganda untuk memicu warga setempat membenci Barat.

NI juga tampaknya telah berhasil membuat kamuflase pada kendaraan militer mereka sehingga tidak terdeteksi oleh pesawat tempur AS yang melintas di atas. Tidak mungkin NI bisa meluaskan daerah kekuasaan mereka tanpa melibatkan kenderaan-kenderaan berat. Kendaraan seperti ini jelas akan terlihat dan menjadi sasaran empuk bagi pesawat tempur Barat jika tidak dikamuflase.

Gagal di udara, kegagalan juga terjadi di darat. Tentara Irak dan pejuang Suriah, yang mendapat bantuan Barat, ternyata bertekuk lutut dengan mudah saat menghadapi petempur NI. Tidak adanya koordinisasi yang semestinya antara Barat dan petempur di lapangan menjadi sumber kegagalan perang darat ini

Karena alasan politik, AS dan sekutunya hanya berkoordinasi dengan pihak-pihak yang ‘sehaluan’ dengan Barat. Padahal pihak-pihak yang terlibat dalam perang ini justru adalah ‘musuh’ Barat. Di Suriah misalnya, bukannya mendukung pemerintah resmi di Damaskus yang dipimpin Assad, AS sebaliknya mendukung kelompok kecil pemberontak anti-Assad. Begitu juga di Irak, AS dengan setengah hati membantu milisi-milisi Irak karena sebagian besar adalah milisi Syiah yang berafiliasi dengan Iran, musuh AS.

Dengan hambatan politis ini maka tidak mengherankan jika koordinasi di antara pihak-pihak yang memerangi NI di Irak dan Suriah dengan Barat sangat buruk. Koordininasi buruk ini telah dengan sangat baik dimanfaatkan NI.

About this publication