Echoes of the U.S. Supreme Court’s decision reverberated far and wide. Naturally, many in that powerful country have voiced their support.
The decision was also welcomed by several European countries. They took to the streets with rainbow colors, a symbol of the diversity of life.
On June 26, the U.S. Supreme Court legalized same-sex marriage. This means that all states must recognize same-sex married couples. Prior to this, only 30 U.S. states permitted same-sex — also known as LGBT — marriage.
This decision is seen as a form of recognition of human rights. It is not impossible that this move by the U.S. may be followed by other countries with a similar belief. In fact, some European countries recognized same-sex marriage ahead of the U.S.
I am sure that there is a small group of Indonesians — adherents of LGBT behavior — who share this happiness about the ruling. They certainly hope that this delightful news from the U.S. will travel this way and our government, too, will issue a form of official recognition of same-sex marriage.
But the majority of people in this country do not agree with the legality of same-sex marriage. Same-sex marriage is considered a form of deviation from moral and religious norms.
Let us look for a moment at the opinion of several religions in Indonesia on same-sex marriage. In Buddhism, same-sex marriage is an obstacle to reaching enlightenment. Homosexuality is even regarded as one of the factors causing a decline in public morals, where a good moral foundation is necessary to reach enlightenment.
According to Protestant ideology, the main purpose of marriage is the preservation of the species or procreation. This is only achievable when the couple getting married is heterosexual.
The Catholic Church also has the same understanding. A marriage can only exist between a man and a woman. The followers of this religion also consider homosexual behavior a form of deviation.
Hinduism also rejects same-sex marriage. This religion clearly prohibits marriages between couples of the same sex.
Confucianism has the same understanding as the four religions above. Adherents of Confucianism believe in a tenet that marriage is between a man and a woman.
What about Islam? Almost everyone knows that Islam strongly rejects same-sex marriage. The ban on same-sex marriage is expressly stated in Surah A-A’raf 7:80-84 below:
“And (We sent) Lot, when he said to his people: Do you commit an abomination which no one in the world did before you? Surely you come to males with lust instead of females. Nay, you are a people exceeding bounds. And the answer of his people was no other than that they said: Turn them out of your town; surely they are a people who aspire to purity! So We delivered him and his followers, except his wife — she was of those who remained behind. And We rained upon them a rain. See, then, what was the end of the guilty!”
Article 1, letter a, of the Compilation of Islamic Law also clearly states that marriage is between a man and a woman. Moreover, Article 1 of the Marriage Act (No. 1 of 1974) expressly states that marriage is a physical and spiritual bond between a man and a woman as husband and wife in order to form a happy family under God.
This is reinforced in the clarification of Article 34 paragraph 1 of the Population Administration Law No. 23 of 2006. It states that marriage is a bond between a man and a woman in order to form a household.
The majority of LGBT adherents disregard religious teachings. Initially, they were adamant that the world recognize same-sex marriage because, beside being a human right, sexual orientation is determined at birth. Generally, they claim that LGBT behavior is a gift from God and therefore can’t be cast aside.
There is a researcher from Germany, Magnus Hirschfeld, who in 1899 expressed an opinion that gay behavior is hereditary. Hirschfeld submitted the discovery of “gene theory” as the reason behind homosexual behavior.
Hirschfeld’s far-fetched theory was further examined by Dr. Michael Bailey and Dr. Richard Pillard in 1991. No conclusive evidence of hereditary or genetic factors in gay behavior was found.
Dean Hamer, who is gay, picked up the research with a study on 40 pairs of homosexual brothers. He found that homosexual behavior was transmitted by mothers through chromosome Xq28. This finding is merely a hypothesis without any concrete evidence to back the claim.
Professor George Rice of the University of Western Ontario in Canada looked at the thesis in depth by studying 52 pairs of homosexual brothers. He came to the conclusion that there was no evidence that chromosome Xq28 was the cause of homosexual behavior.
Similar research was conducted by Professor Alan Sanders of the University of Chicago in 1998-1999. Sanders’ conclusion didn’t support the theory of genetic factors in homosexual behavior. In the end, Rice and Sanders’ research demolished Hirschfeld’s “gay gene” theory.
Thus it is now clear that neither religious teachings nor scientific theories are able to accept or explain LGBT behavior. There is absolutely no basis for its recognition.
In the context of Indonesia, we do admit that our country is not a religious state. However, religious views have always been the footholds of every step we have taken, in accordance with the first principle of Pancasila. For this reason, religious references should be the basis of the government’s decision to reject and refuse to recognize same-sex marriage in our country.
LGBT
Gema keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat itu memancar hingga ke mana-mana. Suara dukungan tentu saja banyak muncul di negara adidaya itu.
Sambutan dengan nada gembira juga datang dari beberapa negara di benua Eropa. Mereka turun ke jalan dengan membawa warna pelangi, sebagai lambang untuk menghargai warna-warni dalam kehidupan ini.
Pada tangal 26 Juni lalu, Mahkamah Agung di AS telah mengakui pernikahan sejenis (kelamin). Ini artinya, seluruh negara bagian di sana wajib memberi pengakuan pada pasangan satu jenis kelamin yang melakukan pernikahan. Selama ini, hanya 30 negara bagian AS yang mengizinkan pernikahan sejenis atau dikenal dengan sebutan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender).
Keputusan ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia. Bagi negara yang menganut paham serupa, bukan tak mungkin langkah AS ini akan segera mereka ikuti. Faktanya, di beberapa negara Eropa sudah ada yang lebih dulu memberikan pengakuan atas pernikahan sejenis.
Saya yakin, ada kelompok kecil masyarakat Indonesia --sebagai penganut perilaku LGBT-- yang ikut merasakan kebahagiaan ini. Mereka tentu berharap, angin kegembiraan dari AS itu bisa berembus ke sini dan menjadi sebuah keputusan resmi sebagai bentuk pengakuan pernikahan sejenis dari pemerintah.
Di balik itu, hampir mayoritas rakyat negeri ini tak sependapat dengan legalilitas pernikahan sejenis. Pernikahan sejenis dianggap sebagai bentuk penyimpangan terhadap norma susila dan agama.
Mari kita tengok sejenak pendapat beberapa agama yang ada di Indonesia atas pernikahan sejenis itu. Dalam pandangan Buddha, pernikahan sejenis merupakan halangan untuk mencapai kesucian. Bahkan homoseksual dianggap sebagai salah satu faktor penyebab penurunan moral di masyarakat. Padahal, untuk mencapai kesucian itu diperlukan landasan moral yang baik.
Menurut ideologi Kristen (Protestan), tujuan utama pernikahan adalah untuk melestarikan kehidupan atau keturunan. Ini hanya bisa dicapai bila mereka yang menikah berlainan jenis kelamin.
Agama Katholik pun memiliki paham yang sama. Dalam suatu ikatan pernikahan hanya bisa dilakukan oleh pria dan wanita atau laki-laki dan perempuan. Para pemeluk agama ini juga menganggap perilaku homoseksual itu sebagai bentuk penyimpangan.
Penolakan atas pernikahan sejenis juga dianut oleh agama Hindu. Agama ini jelas-jelas melarang pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berjenis kelamin sama.
Tak beda dengan empat agama itu, Konghucu pun memililki pemahaman yang sama. Pemeluk Konghucu memilliki prinsip, bahwa pernikahan itu terjadi antara laki-laki dan wanita.
Bagaimana dengan Islam? Hampir semua masyarakat mengetahui, bahwa Islam juga menolak dengan keras pernikahan sejenis. Larangan pernikahan sejenis secara tegas tertera dalam surat Al-A’raaf (7), ayat 80-84 di bawah ini.
"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?" Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya (yang beriman) kecuali istrinya (istri Nabi Luth); dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu."
Pasal 1 huruf a dalam Kompilasi Hukum Islam pun dengan jelas menyebutkan, bahwa perjodohan itu terjadi antara laki-laki dan wanita. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan (Nomor 1 Tahun 1974) secara tegas juga menyatakan, perkawinan itu merupakan ikatan lahir-batin antara laki-laki dan wanita sebagai suami-istri untuk membentuk keluarga bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ini diperkuat oleh UU Administrasi Kependudukan No 23 tahun 2006 pada penjelasan pasal 34 ayat (1). Inti penjelasan itu menyebutkan, bahwa perkawinan adalah ikatan antara laki-laki dan wanita dalam membentuk rumah tangga.
Mayoritas para penganut LGBT tak mengindahkan dalil agama itu. Semula mereka ngotot berpendapat agar dunia mengakui pernikahan sejenis karena itu merupakan kodrat (selain sebagai hak asasi). Umumnya mereka mengaku, perilaku sebagai LGBT adalah anugerah Tuhan dan karenanya manusia tak bisa menolak.
Adalah peneliti dari Jerman, Magnus Hirschled, yang pada tahun 1899 mengutarakan pendapat, bahwa perilaku gay merupakan keturunan. Hirscheld mengajukan temuan ‘teori gen’ sebagai dalil dalam perilaku homoseksual.
Teori mengada-ngada dari Hirscheld itu diteliti lebih lanjut oleh Dr Michael Bailey dan Dr Richard Pillard pada 1991. Belum ada simpulan soal kepastian faktor keturunan atau genetis dalam perilaku gay.
Penelitian itu lalu diteruskan oleh Dean hamer yang juga seorang gay terhadap 40 pasangan kakak-beradik homoseksual. Dia menemukan adanya dari perilaku homoseksual yang diturunkan oleh ibu dari kromosom Xq28. Temuan ini baru bersifat hipotesis lantaran tak ada bukti yang bisa menjelaskan secara riil.
Prof George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada mendalami tesis itu dengan meneliti 52 pasangan kakak-beradik homoseksual. Sampailah dia pada simpulan, tak ditemukannya kaitan kromosom Xq28 yang mendasari perilaku homoseksual.
Riset serupa dilakukan oleh Prof Alan Sanders dari Universitas Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1998-1999. Hasil temuan Sanders juga tidak mendukung teori yang menjelaskan adanya hubungan genetik pada perilaku homoseksual. Penelitian Rice dan Sanders itu pada akhirnya meruntuhkan temuan teori “gen gay” oleh Hirscheld.
Dengan demikian, lengkap sudah, dalil agama maupun ilmiah ternyata tak bisa menerima dan menjelaskan perilaku LGBT. Tak ada landasan sama sekali untuk mengakui hal itu.
Dalam konteks keindonesiaan, kita memang mengakui negara kita bukanlah negara agama. Akan tetapi, pandangan agama selalu menjadi pijakan dalam setiap kita melangkah, sesuai dengan bunyi sila pertama dari Pancasila. Oleh sebab itu, rujukan agama harus menjadi dasar dari keputusan pemerintah untuk menolak dan tak menngakui pernikahan sejenis di negara kita.
This post appeared on the front page as a direct link to the original article with the above link
.