Politicization of Iran’s Nuclear Program

<--

Politisasi Nuklir Iran

TENGGAT waktu bagi perundingan kesepakatan nuklir Iran kembali terlampaui. Iran dan sejumlah negara besar dunia yang terlibat dalam perundingan kembali gagal mencapai kata sepakat untuk merampungkan perun­dingan yang telah berlangsung hampir 12 tahun itu. Ke­tidakpercayaan serta kepentingan-kepentingan politik telah membuat perundingan ini sangat sulit untuk dia­khirinya dengan solusi yang memuaskan pihak-pihak yang berselisih.

Ini adalah tenggat waktu ke dua yang gagal dipenuhi sejak terobosan dicapai pada April lalu. Tenggat waktu sebelumnya ditetapkan pada 30 Juni, kemudian direvisi men­jadi 10 Juli, dan setelah batas waktu ini terlampaui akhir pekan lalu, belum jelas kapan tenggat waktu selanjutnya akan ditetapkan. Terlampauinya dua tenggat waktu ini kembali mengirim sinyal pada dunia bahwa te­ro­bosan kesepakatan yang telah dicapai pada April lalu itu akan sia-sia dan kemungkinan perundingan akan terseret semakin lama dengan kesepakatan akhir yang tak pasti akan dicapai.

Sulitnya mencapai kata sepakat dan isu nuklir Iran ini tampaknya lebih disebabkan faktor politik dibanding faktor nuklir itu sendiri. Tidak tercapainya kesepakatan ini sebenarnya pun sudah dapat ditebak. Dua kubu yang berseberangan: Iran dan Amerika Serikat (AS), memang teramat sulit untuk menyepakati berbagai poin yang dirundingkan. Padahal negara-negara lain yang terlibat dalam perundingan ini, apa yang di sebut dengan Kelompok P5+1 yang terdiri dari Inggris, Prancis, Russia, Tiongkok dan Jerman, telah menyatakan keoptimisan mereka bahwa kesepakatan akhir akan segera dicapai.

AS, dilatarbelakangi oleh lobi-lobi Israel, berusaha keras mencegah kesepakatan nuklir antara Iran dan P5+1 ditandatangi tanpa ada syarat ekstra keras diterapkan ter­hadap Iran. AS bersama Israel memang sangat tidak percaya pada Iran dan menuduh Teheran melakukan kompromi ‘pura-pura’ saat memberikan konsensus dalam kesepakatan nuklir. Dalam kesepakatan nuklir yang di­capai pada April lalu, Iran telah sepakat untuk mem­per­silahkan badan pengawas nuklir internasional (IAEA) untuk melakukan pemeriksaan dan menempatkan pengawas tetap di instalasi-instalasi nuklir Iran yang dicurigai. Iran juga bersedia mengurangi proses pengayaan urainium me­reka, yang dicurigai bisa diproses menjadi senjata atom.

Langkah Iran ini dipuji oleh semua negara P5+1 kecuali AS. Washington, senada dan seirama dengan Israel, belum melihat bahwa kesediaan Iran itu sebagai isyarat dicapainya kesepakatan nuklir tapi menyebutkan sebagai taktik Iran semata untuk melepaskan diri dari sanksi internasional tapi tetap terus melanjutkan program nuklir. Dengan kecurigaan ini maka tidak heran jika Israel menentang keras kesepakatan nuklir Iran pada April lalu dengan menyebutnya sebagai ‘kemunduran’ bukan ‘kemajuan’.

AS tetap menuntut Iran mesti sepenuhnya meng­hen­tikan aktivitas nuklir dan pemeriksaan terhadap nuklir Iran tidak terbatas pada lokasi fasilitas nuklir tapi juga mencakup pada pemeriksaan pada instalasi-instalasi militer Iran, permintaan yang dengan sangat tegas ditolak oleh Iran. Teheran menganggap permintaan AS itu mengada-ada dan melampaui persoalan nuklir. Iran menuduh permintaan ini sebagai siasat politik AS semata yang dilatarbelakangi oleh faktor Israel, musuh utama Iran.

Bila faktor politik lebih berperan dalam kebijakan AS itu, hal yang sama juga terjadi di Iran. Di Iran sendiri, baik pemerintah maupun publik, melihat isu nuklir ini tidak se­mata dari faktor nuklir saja tapi juga persoalan politik. Bagi Iran, program nuklir ini adalah hak mereka sebagai se­buah negara berdaulat dan campur tangan asing ter­hadap masalah ini sama artinya ikut campur atas masalah kedaulatan Iran. Sebagian besar rakyat Iran menyokong program nuklir ini bukan karena menyokong upaya pemerintahnya membangun fasilitas nuklir tapi lebih karena ‘kemarahan’ atas campur tangan AS dalam isu ini.

Dengan begitu kuatnya faktor politik dalam isu nuklir Iran ini maka dapat dipastikan kesepakatan akhir yang bisa diterima semua pihak akan sulit dicapai. Kesepakatan nuklir dengan mudahnya dibatalkan karena persoalan yang mengada-ada dan faktor kecurigaan yang tak masuk akal. Bila faktor faktor politik ini terus dikedepankan maka kesepakatan nuklir Iran akan tak pernah tercapai.

About this publication