Studying Religious Pluralism in the United States

Published in Antara
(Indonesia) on 11 March 2011
by Edy M. Ya`kub (link to originallink to original)
Translated from by Nadia Bulkin. Edited by Mark DeLucas.
“I became worried about people in the United States when I was going to leave, because I am Muslim and I wear a jilbab,” said Ratna Sari, a student at Jember National University (Unej) in Surabaya, on Thursday.

Ratna Sari is one of six students from Indonesia’s Eastern region who participated in the Study of the United States Institute (SUSI) program to study religious pluralism in the United States, from Jan. 10 to Feb. 12, 2011.

Other students were Nur Fajrin and Salwa Amaliyah (The Sunan Ampel National Islamic Religious Institute of Surabaya), Nurul Ichsani and Safrin La Batu (Hasanudin University, Makassar) and Shuresj Tomaluweng (Indonesian Christian University of Maluku/UKIM).

Nevertheless, the social and political sciences student from Unej, who matriculated in 2004, was grateful when she actually set foot in the country led by Barack Obama.

“Thank God, my worries about anti-Muslim [sentiment] in the U.S. were not confirmed. I learned a lot about democracy, religion and social life,” she stated.

Throughout her interactions with Americans of various religions, she said, it turned out that pluralism does not only mean accepting differences.

“Pluralism isn’t just that. Pluralism is the desire from the deep bottom of the heart to know and value those of different religions,” she noted.

A similar acknowledgment was also given by Shuresj Tomulauweng from UKIM, who together with his companions had the chance to travel around to New York, Washington, Florida and Philadelphia.

“Before [the trip], I knew America from film and mass media, but in America, I really discovered the diversity of the American people, whether of ethnicity, religion or even political ideology,” he asserted.

He stated that he had the opportunity to go around to mosques, churches and synagogues and was surprised that there was even a Bahá'i community.

“They’re all there, and the government guarantees the freedom of all of them. We came to understand that pluralism is not an issue of diversity or difference but of the way we accept other people through sharing and dialogue,” he explained.

There was also an event that made him certain of this when President Obama asked all people to pray according to their religion for the recovery of an ill member of the U.S. Congress.

“I imagine local wisdom like that in Maluku can be developed for the management of religious pluralism. To unite the diversity in Maluku, there is local wisdom, like in Maluku, there is ‘pela gandong,’ which represents a cultural understanding that integrates people from two to three villages,” he said.

A similar experience was also spoken about by the education student from Surabaya, Salwa Amaliyah.

“From there (the U.S.), I came to know that our weakness is that the majority group feels like it has won and is powerful, so there is only narrow thinking and frequent blaming,” she asserted.

According to the student majoring in mathematics education, the American people have high tolerance, and their government is able to manage diversity in a good way.

“I became nervous when I visited a church, but after I entered I actually felt peaceful, because the togetherness was really there. They were very welcoming, they prepared a place for us to pray in one corner of the church,” she explained.

In talking with youth who have been to America as well as those who often interact with religious organizations, Intan, an ITS student who is Hindu, determined that America is already neatly arranged in a system, while Indonesia still has many social differences.

“In the beginning, I did not believe it, but in the end I experienced it myself when I filled in the religion column in my identity card (KTP). So, there is still religious discrimination here,” she said.

According to her, Indonesia is different from America, because America’s system is already in order. “In Indonesia, there are still people that are fanatics, because the system isn’t in place yet,” she stated.

Regarding all the experiences of youth who have already been to America and the opinions of youth that have not gone to America, the U.S. consul general in Surabaya, Kristen F. Bauer, stated that she was pleased.

“I caught a note that they hate violence and support tolerance, and because of that I asked them to develop a continuous process of dialogue,” she said.


"Saya sempat khawatir dengan warga Amerika Serikat saat hendak berangkat, karena saya Muslim dan mengenakan jilbab," ucap Ratna Sari, mahasiswi Universitas Negeri Jember (Unej) di Surabaya, Kamis.

Ratna Sari merupakan salah satu dari enam mahasiswa dari kawasan timur Indonesia yang menjadi peserta program "Study of US Institute" (SUSI) untuk belajar pluralisme agama di Amerika Serikat (AS), 10 Januari-12 Februari 2011.

Mahasiswa lainnya adalah Nur Fajrin dan Salwa Amaliyah (IAIN Sunan Ampel Surabaya), Nurul Ichsani dan Safrin La Batu (Universitas Hasanudin, Makassar), dan Shuresj Tomaluweng (Universitas Kristen Indonesia Maluku/UKIM).

Namun, mahasiswi Fisip Unej angkatan tahun 2004 itu bersyukur ketika benar-benar menginjakkan kaki di negara yang dipimpin Barack Obama itu.

"Alhamdulillah, kekhawatiran saya tentang anti-Muslim di AS itu tidak terbukti. Saya banyak belajar tentang demokrasi, agama, dan kehidupan sosial," tuturnya.

Selama berinteraksi dengan warga Amerika dari berbagai agama itu, ungkapnya, ternyata pluralisme itu bukan hanya menerima perbedaan.

"Pluralisme bukan hanya itu, tapi pluralisme adalah keinginan dari lubuk hati yang dalam untuk saling mengenal dan menghargai mereka yang berbeda agama," tandasnya.

Pengakuan senada juga dikemukakan Shuresj Tomaluweng dari Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) yang bersama rekan-rekannya sempat berkeliling ke New York, Washington, Florida, dan Philadelphia.

"Sebelumnya, saya mengenal Amerika dari film dan media massa, tapi di Amerika, saya benar-benar mengetahui kemajemukan rakyat Amerika, baik etnis, agama, maupun ideologi politik," tegasnya.

Ia menyatakan bahwa dirinya sempat berkeliling ke masjid, gereja, dan sinagog, bahkan dirinya sempat kaget adanya komunitas (Agama) Bahai.

"Semuanya ada dan pemerintah menjamin kebebasan semuanya. Kami menjadi paham bahwa pluralisme bukan soal kemajemukan atau perbedaan, tapi pada cara kita menerima orang lain melalui berbagi dan dialog," katanya menjelaskan.

Ada juga hal yang mengesankan dirinya yakni ketika Presiden Obama meminta semua orang berdoa sesuai agamanya untuk kesembuhan anggota legislator AS yang sakit.

"Saya membayangkan kearifan lokal seperti di Maluku bisa dikembangkan untuk manajemen pluralisme agama. Untuk menyatukan keragaman di Maluku ada kearifan lokal, seperti di Maluku ada `pela gandong` yang merupakan kultur untuk mengintegrasikan masyarakat dari 2-3 kampung," katanya.

Pengalaman serupa juga diungkap mahasiswi Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Salwa Amaliah.

"Dari sana (AS), saya menjadi tahu kekurangan kita adalah kelompok mayoritas itu merasa menang dan berkuasa, sehingga hanya ada pikiran sempit dan sering menyalahkan," tegasnya.

Menurut mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika itu, masyarakat Amerika mempunyai toleransi yang tinggi dan pemerintahnya mampu mengelola keragaman yang ada secara baik.

"Saya sempat gamang ketika berkunjung ke gereja, tapi setelah masuk justru saya merasa damai, karena kebersamaan itu benar-benar ada. Mereka sangat `wellcome`, mereka menyiapkan kami tempat shalat di satu sudut gereja," paparnya.

Dalam dialog anak-anak muda, baik mereka yang pernah ke Amerika maupun mereka yang sering berinteraksi dengan lembaga keagamaan itu, mahasiswa ITS beragama Hindu, Intan, menilai, Amerika sudah tertata dalam sistem, sedangkan Indonesia masih banyak perbedaan sosial.

"Awalnya, saya tidak percaya, tapi saya akhirnya mengalami sendiri saat mengurus kolom agama dalam KTP (kartu tanda/identitas penduduk). Jadi, masih ada diskriminasi dalam agama di sini," ujarnya.

Menurut dia, Indonesia berbeda dengan Amerika, karena Amerika sudah tertata sistemnya. "Kalau Indonesia masih ada masyarakat yang fanatis, karena sistem belum berjalan," tukasnya.

Menanggapi semua pengalaman anak-anak muda yang sudah ke Amerika dan pendapat anak-anak muda yang belum ke Amerika itu, Konsul Jenderal AS di Surabaya Kristen F Bauer menyatakan senang.

"Saya menangkap pesan bahwa mereka membenci kekerasan dan mendukung toleransi, karena itu saya mengajak mereka untuk mengembangkan proses dialog secara terus menerus," ujarnya.
This post appeared on the front page as a direct link to the original article with the above link .

Hot this week

Austria: The US Courts Are the Last Bastion of Resistance

       

Singapore: The Assassination of Charlie Kirk Leaves America at a Turning Point

Spain: Trump, Xi and the Art of Immortality

Germany: It’s Not Europe’s Fault

Germany: Donald Trump’s Failure

Topics

Turkey: Blood and Fury: Killing of Charlie Kirk, Escalating US Political Violence

Thailand: Brazil and the US: Same Crime, Different Fate

Singapore: The Assassination of Charlie Kirk Leaves America at a Turning Point

Germany: When Push Comes to Shove, Europe Stands Alone*

Guatemala: Fanaticism and Intolerance

Venezuela: China: Authoritarianism Unites, Democracy Divides

Israel: Antisemitism and Anti-Israel Bias: Congress Opens Investigation into Wikipedia

Spain: Trump, Xi and the Art of Immortality

Related Articles

Indonesia: Trump’s 19% Tariffs: How Should We Respond?

Portugal: Kissinger: Beyond Good and Evil*

India: When Biden’s Away

U.A.E.: Why Xi and Biden’s G-20 Meeting Was a Masterclass in Deescalation