TEL AVIV (SuaraMedia News) - Rabbi Ovadia Yosef, religious leader of Israel’s ultra-Orthodox party Shas and a part of the Israeli governmental coalition, criticized American President Barack Obama on Saturday. He drew a picture of the president as a “slave master” who dominates the world. The rabbi claimed that the president wishes to control Israel by controlling building plans in Jerusalem.
During a Sunday sermon, Yosef protested: “America has ordered Israelis to 'stop building here, and you cannot build there,' as if we are slaves that work for her.”
“We live in an age where a slave master is guiding us and is trying to control us,” he added afterwards, while rejecting the U.S.'s request that Israelis halt the building of an illegal settlement in the Palestinian district.
“We are not American slaves ... Israel will not work for the United States of America!” Yosef emphasized.
The rabbi then spoke about the issue of Al-Haram Al-Sharif (the Dome of the Rock). “Where is our shrine? Nothing exists except for the Arabs who have occupied our land ... And I hope that the Messiah will soon appear to destroy them,” he said, despite the fact that, in reality, Israel has stolen Palestinian land and are the ones who could more accurately be described as the destroyer nation.
Born in Iraq in 1920, Yosef is a retired leader of Rabi Sephardic Israel. He is a well-known character with an ill-favored past, known for his humiliating comments directed at Arabs and Palestinians, calling them “venomous snakes” that “gather like ants.”
He also asked God to send punishment upon the prime minister at the time, Ariel Sharon, who in 2005 pulled the army and residents from the Gaza Strip and Lebanon during the war that lasted from July to August of 2006. He also said that the Israeli army soldiers who died in the war died because they did not follow Jewish command.
In 2000, he ignited angry criticism when he said that the six million Jewish victims of the Nazi Holocaust “died fruitlessly” and that the act was a “reincarnation of the Jews who sinned” in the previous generation.
The sermon of Rabbi Ovadia is often dedicated to the fasting of Tisha B’Av, which will be marked on Thursday. He insisted that reading the Qur’an is prohibited on that day, because this act will void the fasting done. Talmud said that walking with Tisha B’Av is also prohibited.
Instead of learning Taurat, also prohibited, Rabbi Ovadia asks the people to simply study the rituals of mourning, or a book of ethics. Although, according to him, studying Taurat is the only way to bring the Jewish people closer to the coming of the Messiah.
In addition to the controversial rabbi, an Israeli official also insulted the U.S. president in front of the public and through an American and Zionist-controlled media source. Feelings of apartheid and racism in Israel seem to no longer only be directed towards "the evil Arab people" - now it has crossed the line to victimize the president of the United States.
This fact has marked a new form of Israeli attacks against Barack Obama and the government whose wishes have many times forced the Jewish country to stop their settlements on the western edge, in a part of northern Jerusalem that is occupied. Demands have created tension between the two parties that have not been seen before.
Despite the criticism and insults towards the president of America, criticism towards Jewish people and anti-Semitism is not at all tolerated in the U.S. and Europe. Last week, the FBI was threatened with the “anti-Semitic” label after arresting several rabbis in New Jersey. Will America remain silent while Israel labels her president a “slave master” without pushing for a formal apology from the Israeli government? When will America learn the language of the media in order to prevent the future printing of negative, controversial articles by its Zionist-controlled media?
TEL AVIV (SuaraMedia News) - RabbiOvadia Yosef, Pimpinan rohani Israel ultra-Ortodoks partai, Shas, yang merupakan bagian dari pemerintahan koalisi Israel, mengkritik presiden AS Barack Obama pada hari Sabtu menggambarkan dia sebagai "seorang budak" yang menguasai dunia dan yang ingin mengontrol kebijakan Israel dalam menempati bangunan di Yerusalem.
Dalam khotbah mingguan, Yosef protes bahwa "Amerika berkata ‘jangan bangun (pemukiman) disini dan tidak boleh bangun di sana’ seolah-olah kita adalah budak yang bekerja untuk dia"
kemudian ia menambahkan bahwa "Kami tinggal dalam satu waktu masa dimana seorang budak memimpin kita dan berusaha untuk mengendalikan kami " menolak permintaan AS untuk menghentikan pembangunan pemukiman illegal di tanah jajahan Palestina.
"Kami bukan budak Amerika .. dan Israel tidak bekerja untuk Amerika Serikat! " Yosef menegaskan.
Rabbi itu kemudian berbicara mengenai isu Haram Al Sharif (Dome of the Rock) mengeluh: "dan di mana kuil kami?! Tidak ada apa-apa ada kecuali orang Arab yang menempati tanah kami ... dan saya berharap bahwa Mesias akan segera muncul untuk menghancurkan mereka. ". Meskipun pada kenyataannya Israellah pencuri [tanah Palestina] dan mereka lebih tepat disebut bangsa penghancur.
Dilahirkan di Irak pada 1920, Yosef adalah mantan ketua Rabi Sephardic Israel dan seorang tokoh yang terkenal dengan buruk di masa lalu, dengan hinaannya kepada warga Arab dan Palestina dan menyebut mereka sebagai "ular" dan "ular berbisa" yang "berkelompok seperti semut."
Dia juga pernah meminta Tuhan untuk menjatuhkan hukuman kepada perdana menteri pada saat itu Ariel Sharon karena pada tahun 2005 telah menarik tentara dan pemukim dari Jalur Gaza dan Libanon selama perang di bulan Juli-Agustus 2006, dan mengatakan bahwa tentara Israel yang tewas dalam peperangan meninggal karena mereka tidak mengikuti perintah Yahudi.
Pada tahun 2000 ia menyulut berbagai macam kritik ketika ia mengatakan bahwa enam juta Yahudi korban Holocaust Nazi "mati sia-sia," dan merupakan "reinkarnasi orang Yahudi yang berdosa" dalam generasi sebelumnya.
Khotbah Rabbi Ovadia kebanyakan didedikasikan kepada kebiasaan puasa Tisha B'Av, yang akan ditandai pada hari Kamis. Dia menekankan bahwa membaca koran dilarang pada hari itu, karena hal ini merupakan termasuk membatalkan puasa pada hari duka tersebut. Talmud menyatakan bahwa berjalan-jalan pada Tisha B'Av juga dilarang.
Alih-alih belajar Taurat, yang juga dilarang, Rabbi Ovadia menganjurkan untuk belajar ritual ratapan atau buku tentang etika.
Namun, menurutnya hanya dengan belajar Taurat yang akan membawa kaum Yahudi lebih dekat dengan kedatangan Mesiah.
Selain Rabi kontroversial itu, seorang pejabat pemerintah Israel juga telah menghina presiden dari Amerika Serikat di depan publik dan media AS yang dikontrol oleh Zionis tentunya telah menyimpan cerita tersebut. Sikap apartheid dan rasisme Israel tidak lagi hanya terbatas kepada 'orang Arab yang jahat ', sekarang berlanjut ke presiden AS.
Hal itu menandai serangan terbaru Israel terhadap Barack Obama dan pemerintahannya atas permintaan yang berulang-ulang bahwa negara Yahudi itu harus menghentikan semua kegiatan pemukiman di Tepi Barat yang diduduki termasuk Yerusalem Timur yang dikuasai.
Tuntutan telah menciptakan ketegangan antara kedua sekutu dekat tersebut yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Meski mengkritik dan melecehkan presiden Amerika yang tidak konsekuen kepada Israel, mengkritik Israel atau orang-orang Yahudi dan "anti-Semit", merupakan sebuah hal tidak dapat diterima dalam prosedur hukum di AS dan Eropa. FBI bahkan pekan lalu telah dikecam dengan sebutan "anti-Semit" karena telah menangkap beberapa orang Rabbi di New Jersey. Akankah Amerika mendiamkan saja Israel yang menyebut presiden AS "seorang budak" tanpa perlu mendesak adanya permintaan maaf resmi dari pemerintah Israel? Kapankah Amerika akan belajar cara untuk berbicara dalam bahasa lain agar tidak berada di bawah belas kasihan media yang dikontrol Zionis? (iw/ip/ggl/yn) dikutip oleh www.suaramedia.com
This post appeared on the front page as a direct link to the original article with the above link
.
It wouldn’t have cost Trump anything to show a clear intent to deter in a strategically crucial moment; it wouldn’t even have undermined his efforts in Ukraine.