The Orientation of Democracy: Wanting to Be Like America, But Too Shy

<--

Amerika Serikat selalu menjadi rujukan. Suka ataupun tidak suka, baik kawan maupun lawan, selalu mencermati setiap perkembangan dan trend yang terjadi di negara adi daya itu.

Dalam hal Indonesia, ada yang unik. Sikap politik Indonesia terhadap Amerika Serkat (AS), sebetulnya tidak jelas dan tidak terpola. Kiblat Indonesia antara ada dan tidak jelas. Kepada dunia, seolah mengaku memiliki sistem demokrasi yang khas Indonesia. Sebab kita punya Pancasila sebagai dasar negara. Padahal di dalam kenyataannya, Indonesia sebetulnya sistem demokrasi berkiblat kepada AS. Mana buktinya?

Sejujurnya tidak ada politisi yang berani mengaku, bahwa ketika pada awal reformasi, MPR melakukan amandeman terhadap UUD ’45, yang dijadikan rujukan adalah konsep-konsep demokrasi dari Partai Republik dan Partai Demokrat AS.

Dua partai politik di AS itu masing-masing punya perwakilan berbentuk LSM di Indonesia. Lewat LSM itulah para tutor orang Indonesia yang sudah dilatih oleh konseptor demokrasi ala Amerika, memberi arahan agar Undang-undang Partai Politik di Indonesia diubah.

Perubahan UU itu menghasilkan sistem pemilihan umum secara langsung ala Amerika dilaksanakan di Indonesia. Pemilu Legislatif dan Pilpres 2004, merupakan event politik pertama yang mengadopsi sistem AS. Bahwa tidak seratus persen sama, ada benarnya. Yang jelas tidak hanya Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung tetapi termasuk para anggota DPR, anggota DPD, Gubernur, Bupati dan Walikota, mengikuti sistem AS.

Akibatnya pola pikir tentang demokrasi akhir-akhir ini lebih banyak dipengaruhi oleh sistem AS. Pengaruhnya semain kuat sebab alumni AS berada di berbagai lembaga pemerintah, termasuk media massa, ikut memperkuat chemistry tersebut. Yang juga sudah menjadi fakta, kecuali Presiden BJ Habibie, semua Presiden RI, mulai dari Soekarno sampai dengan SBY kiblat politik mereka, Washington!

Presiden pertama RI, sejak awal, sudah mendekat ke AS. Soekarno mendekat karena ia tahu, Panglima Tentara AS di Pasifik, Jenderal Douglas MacArthur sewaktu bermarkas di Australia, pernah berpikir sebelum menyerang Tokyo, terlebih dahulu membebaskan Indonesia dari Jepang. Namun belum sempat hal itu dilakukan, Jepang sudah angkat kaki dari Indonesia.

Jepang meninggalkan Indonesia setelah K Hiroshima dan Nagasaki pada minggu pertama Agustus 1945, dijatuhi bom nuklir oleh AS. “Kekosongan” yang ditinggalkan Jepang itu, dimanfaatkan Soekarno-Hatta. Dwi tunggal RI itu mendeklarasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.

Pada 20 Oktober 1945, Soekarno melawat ke Washington dan bertemu dengan Presiden AS Harry Truman, sebagai tanda kiblat awal Indonesia ke AS. Lawatan Soekarno memperkuat dukungan AS atas kemerdekaan RI yang belum sepenuhnya diakui oleh Belanda.

Hubungan RI-AS memburuk di era Presiden Dwight Eisenhower (1958 – 1961). Menurut “Bung Karno Pernyambung Lidah Rakyat”, karya wartawati AS, Cindy Adams, Proklamator RI sangat tersinggung oleh perlakuan Presiden Eisenhower di Gedung Putih, Soekarno disuruh menunggu layaknya tamu biasa. Soekarno pun tersinggung dan akhirnya meninggalkan Gedung Putih tanpa pamit. Sehingga perubahan kiblat dari AS lebih disebabkan oleh persoalan pribadi Presiden RI.

Hubungan RI – AS agak membaik ketika John F Kennedy menggantikan Eisenhower. Namun malang bagi Kennedy. Pemerintahannya sangat singkat, karena dia dibunuh oleh penembak misterius di Dallas, Texas. Kiblat RI ke AS pun tak berlanjut.

Di era Soeharto kiblat Indonesia ke AS sangat jelas. Indonesia berada dalam satu blok anti komunis dengan AS. Invasi yang dilakukan Indonesia ke Timor Portugis (Timor Timur – Timor Leste) pada Desember 1975 terjadi karena adanya kesamaan kiblat.

Presiden AS Gerald Ford, bahkan secara khusus terbang dari Washington menemui Soeharto di Jakarta untuk menandai restu invasi tersebut. Indonesia didorong menginvasi Timor Portugis, karena kuatir wilayah kecil yang ada di tengah Indonesia itu, dapat menjadi wilayah komunis. Sebab Portugal pada 1975 diperintah rezim komunis.

Kiblat RI ke AS bertambah jelas ketika hampir semua ladang minyak, tambang raksasa di Indonesia, dikuasai pengusaha AS. Indonesia juga dipersatukan oleh satelit Palapa, yang menggunakan teknologi AS.

Hanya Presiden BJ Habibie yang tidak sempat berkiblat ke AS. Karena masa pemerintahannya terlalu singkat, Tapi sebagai teknolog, jika Habibie punya waktu, diapun mungkin akan memilih kiblat ke AS. Presiden Aburrahman Wahid, caranya berkiblat lain. Ia membuat Presiden AS Bill Clinton terpingkal-pingkal di Gedung Putih.

Megawati Soekarnoputri, menjadi Presiden pertama RI yang bertemu 3 kali dengan Presiden AS dalam kurun waktu 3,5 tahun. Pertama di Washington (2001), Kedua di Bali (2002) dan ketiga di New York (2003). Kepala negara asing pertama yang ditemui Megawati, juga Presiden AS.

Bagaimana dengan SBY? Inilah Presiden pertama RI yang tidak segan-segan mengaku sebagai warna negara Indonesia yang menganggap AS sebagai tanah air keduanya. Namun entah mengapa, pemimpin kita termasuk para presiden yang disebutkan terdahulu, kalau sudah dihadapkan pada pertanyaan bagaimana sikap politik kita terhadap AS, rata-rata menjawab dengan kalimat abu-abu.

Jawaban dan sikap itu bahkan semakin tidak jelas ketika posisi AS ditempatkan sebagai negara yang paling getol membela Israel dalam permusuhannya dengan Palestina. Kita seringkali berusaha menunjukkan solidaritas yang demikian tinggi kepada Palestina dan untuk pembenarannya, kita harus memperlihatkan sikap yang tidak suka kepada AS.

Sama halnya ketika berbicara tentang persoalan Islam. Tidak jarang para intelektual dan elit politisi kita menempatkan AS sebagai musuh Islam. Sering kali Islam dibenturkan kepada AS atau sebaliknya.

Yang juga cukup menggelikan, adanya sikap yang memperlihatkan Indonesia sebagai negara raksasa. Sehingga tidak kuatir untuk ditekan AS. Dikesankan, kitapun bisa seperti Vietnam dan Kamboja, yang pada 1975 mengusir AS dari Asia.

Padahal secara teknologi dan kekuatan militer, kita sadar, kita tidak mampu. Jadi pernyataan itu hanya semu. Karena kita misalnya tidak punya kemampuan mencegah kapal-kapal selam dari armada AS melewati Selat Sunda, Selat Lombok bahkan Selat Malaka? Tapi ketidak mampuan itu, kita tutupi, bahwa kita tidak berkiblat ke AS.

Sama dengan cara kita yang tidak jujur di dalam mengadopsi sistem politik, ekonomi ataupun demokrasi. Kalau ketidakjujuran itu demi sebuah martabat bangsa, yah tidak apa-apa. Tetapi akan sangat berbahaya kalau ketidak jujuran itu terus kita pelihara. Apalagi kita tidak jujur dan tidak berani mau menentukan kemana kiblat demokrasi kita.

Jika begini, Indonesia akan menjadi bangsa yang tidak berani bersikap. Bangsa yang tidak berani mengadopsi sebuah sistem yang lebih baik. Kalau memang keadaan mengharuskan berkiblat ke AS, mengapa malu?

About this publication