It’s Time to Stop NATO Action in Libya

<--

Campur tangan Barat, yang diwujudkan dengan serangan militer NATO terhadap Libia, semakin menunjukkan ketidakmenentuan arah. Upaya untuk sesegera mungkin mengakhiri rezim Muammar Gaddafi dengan serangan kilat gagal tercapai. Sampai detik ini kekuasaan Gaddafi masih eksis, dan dengan ganas terus menumpas gerakan oposisi. Sementara itu, penetapannya sebagai buron internasional dengan dikeluarkannya surat penangkapan dari Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda tampaknya juga tidak akan menyelesaikan masalah.

Tidak bisa disangkal, kebrutalan Gaddafi menumpas oposisi adalah langkah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Namun, intervensi militer oleh NATO, terutama Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris, terbukti juga bukan tindakan yang tepat. Langkah Liga Arab yang mendukung resolusi Perserikatan BangsaBangsa tentang `’zona larangan terbang” terhadap Libia, ternyata malah mengalihkan perhatian dunia dari Jazirah Arab ke Afrika Utara. Ketika perhatian dunia terpaku pada Libia, revolusi di Bahrain nyaris tak terdengar.

Intervensi militer NATO justru berkemungkinan mengulang kembali tragedi di Irak dan Afghanistan. Serangan-serangan udara semakin meningkatkan atmosfer peperangan di antara dua kubu, yakni rezim penguasa dan kubu oposisi, sementara aktivitas warga sipil terbelenggu. Terjadi demobilisasi massa yang berakibat pada bencana kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan pun ikut terhalang akibat munculnya medan-medan pertempuran antara NATO, Gaddafi, dan militer oposisi. Klimaks dari peperangan, apa pun bentuknya, bakal buruk bagi masa depan Libia. Itulah yang menjadikan Libia berbeda dari Mesir dan Tunisia, tempat awal revolusi rakyat menggema dan menunjukkan hasil dengan penggulingan rezim. Bahwa pascarevolusi itu masih ada pekerjaan besar untuk menegakkan pilar-pilar demokrasi, hal itu adalah persoalan lain lagi dan masih butuh waktu berbulan-bulan bagi Mesir dan Tunisia untuk mewujudkannya. Di Libia, mungkin sulit bagi komunitas internasional untuk membiarkan pembantaian terhadap warga sipil, namun intervensi militer kini telah mengubah elan perjuangan demokrasi rakyat.

Yang terjadi sekarang adalah revolusi versus kontrarevolusi. Akibatnya bisa diramalkan, siapa pun “pemenang“ konflik ini tidak akan berbeda dari ketika Kolonel Muammar Gaddafi tampil pada tampuk kekuasaan setelah memenangi peperangan melawan rezim berkuasa pada 1969.

Bukan benih-benih demokrasi yang disemai, melainkan calon-calon tiran yang sedang dipersiapkan dalam laga peperangan itu. Semakin jelas NATO dan Barat pada umumnya harus merumuskan ulang langkah intervensi mereka, karena opsi militer telah berada pada jalan buntu.

Bertahan pada kebuntuan itu dengan memaksakan serangan yang makin agresif, bisa menyeret Libia menjadi “Irak jilid II”. Keputusan Mahkamah Internasional yang menetapkan Gaddafi sebagai buron internasional seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai manuver terobosan untuk memulai kembali intervensi diplomasi. Proses mengakhiri aksi militer secara total harus dimulai dan menyerahkan pekerjaan selanjutnya pada diplomasi. Tujuan utamanya adalah demiliterisasi perjuangan politik di Libia agar proses demokrasi tidak berlangsung di bawah senapan.

About this publication